DEAR CECILIA
Arumdipta Ginitri
“Caca!
Ayo ke perpus!” kataku sambil menarik tangan Caca yang sedang minum es cincau.
“Eh..Eh..! Cecil ah gitu.. Gue masih mau
minum es! Cindy!! Tolongin gue!” kata Caca sambil menarik tangan Cindy yang
lagi selfie.
Begitulah tingkah kami tiap hari di
sekolah. Kalau lagi akrab, akrab banget. Tapi kalau lagi begini, tarik sana,
tarik sini. Aku Cecilia Hudneys, The
Nerds Queen si pecinta buku. Sahabat ku, Caca Nichole The Big Queen tukang makan yang langsing ga gendut gendut dan Cindy
Redmond Selfie Queen tukang selfie.
Kami anak famous di sekolah yang
dikenal dengan triple-C. Sudah 11
tahun kami bersahabat sejak SD hingga sekarang kelas 11.
Pagi itu, waktu istirahat. Kami langsung
menuju ke perpustakaan secepat kilat, karena istirahat tinggal 10 menit lagi.
Dan aku tidak mau membuang waktuku dengan berjalan lambat seperti keong atau
siput. Istirahat selama 45 menit itu, kami gunakan dengan cukup baik. Selama 15
menit pertama untuk makan, 15 menit lagi main gadget, selfie, update status dan sebagainya, dan 15 menit terakhir
untuk membaca buku di perpus. Kami selalu tepat waktu, kecuali ketika ada guru
yang korupsi mengambil jam istirahat sebagai jam pelajaran tambahan sehingga
kami terpaksa mengundur jadwal rutin 15 menit kami.
Perpustakaan. Surgaku di sekolah.
Sedangkan nerakanya ada di kelas IPA. Meskipun aku suka membaca, bukan berarti
aku tau semuanya. Aku suka membaca novel, itu saja. Dan aku bukan nerd berkacamata yang jerawatan di kanan-kiri.
“Jadi, buku apa yang kalian baca?” tanya
sesosok lelaki di hadapan kami.
“Hard
Love,” jawab kami serentak tanpa melepaskan sedetikpun pandangan kami dari
buku.
“Aku Ben Flirck, kalian sangat kompak,”
katanya berusaha mencari perhatian kami. “Sepertinya membaca sangat seru,” lajut
si Ben sok akrab duduk di hadapan kami.
“Baiklah, cukup. Apa maumu?!” tanya ku
mulai geram. Kami menutup buku setebal 5 cm itu dengan kompak.
“Cecil.., waktu kita masih 5 menit
tenang saja..,” kata Caca mengarahkan jam tangannya padaku. “Kau tidak perlu
marah begi-“ ucap Caca terpotong.
“Aucchh!!” teriak si lelaki itu sambil
memegang keningnya seperti orang mau pingsan.
-BRUKK!!- Benar, dia langsung terbanting
jatuh pingsan.
Hening
sebentar. Semua mata tertuju padaku, bahkan Caca Cindy seakan-akan mereka berpikir
kalau aku baru saja menghisap jiwa si Ben yang baru pingsan itu.
“Apa?”
tanyaku bingung sambil mengernyitkan dahi.
“Lo
ngisep jiwanya?” tanya Cindy ke arahku dengan wajah polos dan suara cukup
kencang. Tuh ‘kan.
Lalu seisi perpustakaan langsung ribut
dan heboh. Beberapa orang menggotong Ben untuk dinaikkan ke kursi, yang lainnya
megambil teh hangat dan P3K.
“Masa seribet itu sih orang pingsan
doang, paling gugup ngobrol sama kita ‘kan?” kataku menekuk muka sambil membela
diriku. Caca dan Cindy menatapku tajam seperti hakim yang menjadikanku seorang
tersangka.
-TRRIIIIIIIIINGGGG!!!- Bel masuk
berbunyi.
“Fyuh! Hampir aja..!” gumamku menghela
nafas panjang. Lalu kami semua segera ke kelas, sementara si Ben itu langsung dikerumuni
oleh para guru.
Keesokkan
harinya, kudengar si Ben itu masuk rumah sakit. Aku jadi merasa bersalah karena
agak membentaknya kemarin. Aku terus berpikir apa aku yang menyebabkan ia masuk
rumah sakit. Karena dari Lenny si tukang gosip telah menyebarluaskan tentang peristiwa
kemarin. Sekarang, aku dikenal dengan julukan Penghisap Jiwa. Sungguh
menyakitkan menjadi orang terhina.
“Cecilia!!! Lo tau ga? Si Ben kritis!”
kata Caca meneriakiku sambil mengguncang-guncangkan pundakku.
“Hah? Serius? Jangan salahin gue sih!” kataku
segera meninggalkan Caca menuju taman.
Hari
ini aku sangat takut Ben kenapa-napa. Karena menurutku, kalau sampai kritis
begitu sepertinya ia memiliki penyakit serius. Akhirnya, aku memutuskan untuk
menjenguknya sepulang sekolah bersama Caca dan Cindy. Bel pulang sekolah pun
telah berbunyi. Aku, Caca dan Cindy langsung bergegas menuju rumah sakit tempat
Ben dirawat. Aku berniat untuk memastikan kalau bukan aku yang menyebabkan dia
sakit sampai kritis. Di rumah sakit, ku lihat 2 orang dewasa yang sepertinya
ialah orang tua Ben.
“Maaf,
apa Ben dirawat disini?” tanyaku sopan. Mereka serentak mengangguk khawatir.
“Saya Cindy Bu, ini Caca dan ini Cecil.
Kalau boleh tanya, Ben sakit apa?” tanya Cindy to the point.
“Ben punya penyakit kanker otak,” jawab
ibunya. “Stadium 3,” sambung ayahnya.
“Tapi,.. Ben kok tidak botak?” tanya
Caca ceplas-ceplos, memasksaku dan Cindy memelototi Caca, Caca langsung
merapatkan mulutnya.
“Maksud dia, kok tidak ada
ciri-cirinya?” tanya Cindy, kedua orang tuanya hanya menggelengkan kepala. Kami
pun mengerti, orang tua Ben tidak ingin diwawancarai dulu.
Seorang
dokter keluar dari kamar rawat Ben, dan menghampiri kedua orang tuanya. Kami samar-samar mendengar kalau Ben
sudah membaik dan sadar. Segera kami dan orang tua Ben masuk menemui Ben yang
masih terbaring lemah. Kami masih berdiri di pintu masuk. Ibunya langsung
menangis sambil berusaha tersenyum menggenggam tangan Ben. Kulihat Ben berbisik
sesuatu pada kedua orang tuanya.
Lalu orang tuanya itu meninggalkan Ben
dan menepuk bahuku pelan. Kami bertiga pun berdiri di sebelah ranjang Ben.
Wajah Ben terlihat sangat pucat, dan entah kenapa aku menjadi sangat khawatir.
“Gue mau minta maaf..” kata ku to the point. Ben tersenyum tipis.
“Kalian baru pulang sekolah?” tanya Ben.
Kami serentak mengangguk.
“Cecil yang ngajakin kita kesini, dia
takut lo kenapa-napa,” ujar Cindy. Aku mengangguk tertegun, tepatnya menggeleng
shock. Bisa-bisanya Cindy berkata
begitu mempermalukan aku. Awas saja nanti. Aku menatap Cindy setajam silet
bersiap mengeluarkan mata laserku. Lalu Cindy, Caca dan Ben terkekeh pelan.
Mengingat ini rumah sakit, aku menahan amarahku. Setidaknya aku dapat melihat
Ben yang kembali segar meskipun tangan kanannya diinfus. Keheningan menyelimuti
kami beberapa detik, hanya suara detakan jantung Ben di monitor menjadi lagu
dalam hening.
“Terima kasih telah datang teman-teman.
Cecil.. Sebenarnya waktu itu aku hanya ingin jujur padamu kalau sebenarnya aku
sangat menyukaimu Cecil,” kata Ben hampir membuat jantungku berhenti berdetak. Aku
bisa merasakan wajah ku memanas dan sudah semerah udang rebus. Rasanya dari
puluhan lelaki yang mengungkapkan perasaan mereka padaku, baru kali ini aku
tidak bisa menolak permintaan manusia satu ini. “Kau tidak perlu membalas
perasaan ku, aku sangat paham. Aku hanya tidak tenang bila belum mengungkapkan
rasa itu, maaf bila aku mengganggumu...,” sambung Ben tersenyum sendu. Rasanya
air mata telah memenuhi kantung mataku. Sungguh aku tidak tau kenapa aku jadi
semacam terharu seperti ini. Tisu mana tisu?
“Hmm.. Ben, maaf aku masih ada urusan.
Aku akan menjengukmu besok, sepulang sekolah,” kataku menyedot kembali air
mataku masuk ke habitatnya seraya menyudahi momen canggung ini. Ben mengangguk.
Lalu kami pamit pulang juga pada kedua orang tua Ben.
Keesokan harinya waktu istirahat,
seperti biasa di 15 menit terakhir kami ke perpustakaan. Alangkah kagetnya kami
ketika melihat seorang lelaki yang tertutup wajahnya oleh buku sedang duduk di
tempat duduk langganan kami sambil membaca buku kami. Tentu saja aku marah. Enak
saja orang itu duduk di tempat langgananku. Aku langsung berjalan sambil
menghentakkan kakiku disusul oleh Caca dan Cindy. Baru saja ingin marah-marah,
mulutku kaku dan tak bisa bicara sepatah kata pun, karena lelaki itu adalah
Ben.
“L-lo nga-ngapain d-disini?” tanyaku
gagap. Entah sihir macam apa yang membuat lidahku kaku, dan jantungku 100 kali
lipat berdetak lebih cepat dan membuatku gugup.
“Gue lagi baca buku. Kan gue sembuh gara-gara
lo jenguk kemarin,” jawab Ben dengan mata hazelnya dan senyum manis hadir
bersama lesung pipit di kedua pipinya. Bayangkan saja dia itu artis Afghan,
sangat mirip. Dan baru kusadari, ia tampan. Ups.
“Aku menunggu jawaban darimu..,” aku tau
kemana arah pembicaraan ini.
“Gue,.. Mmm.. Ya deh,” kata ku seperti
orang kikuk.
Dia
tersenyum bahagia. Sepulang sekolah kami pergi ke karnaval, menaiki biang lala,
rumah hantu, dll. Aku sangat bahagia, aku belajar cinta.
Singkat cerita, pada esok harinya ia
tidak masuk sekolah dengan alasan sakit. Kabarnya dia masuk rumah sakit dan
kritis lagi. Tanpa pikir panjang, sepulang sekolah langsung secepat kilat aku
menuju rumah sakit naik taksi. Kali ini tanpa Caca dan Cindy karena aku harus
buru-buru berhubung dengan firasatku yang buruk. Sesampainya di rumah sakit,
orang tua Ben menangis. Dari pintu ruangan dengan kaca hitam, aku lihat dokter
sedang memasang defibrilator semacam
alat pengejut jantung. Aku benar-benar khawatir dan tidak tenang. Berulang kali
dokter itu memasang pengejut jantung sampai tubuh Ben terhentak ke atas, namun
dapat ku lihat dari pintu kalau monitor detak jantung hanya menunjukkan garis
panjang hijau.
Dokter pun akhirnya keluar dari ruangan
tadi dengan wajah kusut. Dan benar apa firasatku karena Ben telah tiada. Hatiku
remuk, seperti ratusan pisau menghujam tepat di jantungku. Cukup terakhir aku
lihat wajahnya waktu kami bersenang-senang di karnaval. Merupakan 1 hari yang
berarti bagiku. Aku tidak mau melihat wajah pucat Ben yang tak bernafas
tertutupi kain putih. Aku mengatur nafasku. Lalu orang tua Ben memberiku
sepucuk surat warna pink. Dan mereka
pergi. Isinya..
Dear
Cecilia,
Thanks for being
my first and last love, for 1 day that you gave to me. Love you more Cecil!
Dead love,
Ben.