Jumat, 11 Maret 2016


Text Procedure

Text Procedure is a text with purpose to tell the readers how to make something. Text procedure usually using ingredients and step by step to make something.

Here is an example of text procedure how to make egg roll

To make egg roll you need some ingredients, the ingredients are :
- 2 Eggs
- Noodle
- Salt, pepper powder, etc.(if you want)
- Something green (it's like vegetable, carrot etc if you want)
- Some oil

And the tools are :
- Egg Master (with egg master, you can cook egg roll instantly. It's better than using a frying pan)
- Clamp
- A serving plate, spoon/fork

The steps are :
- After you prepare the ingredients and tools, Plug the cord of egg master
- Put the oil into the egg master after the egg master's light greenish
- After heat the oil, hatch the egg, combine with boiled noodle, sal, vegetable, etc and put it into the egg master
- Automatically, the egg will going up. The hot air down the egg in the egg master push the egg by it self, until the egg come out.
- If the egg uncooked well, take out the egg, flip, and put the egg again in the egg master
- Put it in the serving plate, garnish it, and serve it while warm. This egg is a very good protein and energy for breakfast.

Rabu, 09 Maret 2016


  Image result for cerpen
DEAR CECILIA
Arumdipta Ginitri

Caca! Ayo ke perpus!” kataku sambil menarik tangan Caca yang sedang minum es cincau.
“Eh..Eh..! Cecil ah gitu.. Gue masih mau minum es! Cindy!! Tolongin gue!” kata Caca sambil menarik tangan Cindy yang lagi selfie.
Begitulah tingkah kami tiap hari di sekolah. Kalau lagi akrab, akrab banget. Tapi kalau lagi begini, tarik sana, tarik sini. Aku Cecilia Hudneys, The Nerds Queen si pecinta buku. Sahabat ku, Caca Nichole The Big Queen tukang makan yang langsing ga gendut gendut dan Cindy Redmond Selfie Queen tukang selfie. Kami anak famous di sekolah yang dikenal dengan triple-C. Sudah 11 tahun kami bersahabat sejak SD hingga sekarang kelas 11.
Pagi itu, waktu istirahat. Kami langsung menuju ke perpustakaan secepat kilat, karena istirahat tinggal 10 menit lagi. Dan aku tidak mau membuang waktuku dengan berjalan lambat seperti keong atau siput. Istirahat selama 45 menit itu, kami gunakan dengan cukup baik. Selama 15 menit pertama untuk makan, 15 menit lagi main gadget, selfie, update status dan sebagainya, dan 15 menit terakhir untuk membaca buku di perpus. Kami selalu tepat waktu, kecuali ketika ada guru yang korupsi mengambil jam istirahat sebagai jam pelajaran tambahan sehingga kami terpaksa mengundur jadwal rutin 15 menit kami.
Perpustakaan. Surgaku di sekolah. Sedangkan nerakanya ada di kelas IPA. Meskipun aku suka membaca, bukan berarti aku tau semuanya. Aku suka membaca novel, itu saja. Dan aku bukan nerd berkacamata yang jerawatan di kanan-kiri.
“Jadi, buku apa yang kalian baca?” tanya sesosok lelaki di hadapan kami.
Hard Love,” jawab kami serentak tanpa melepaskan sedetikpun pandangan kami dari buku.
“Aku Ben Flirck, kalian sangat kompak,” katanya berusaha mencari perhatian kami. “Sepertinya membaca sangat seru,” lajut si Ben sok akrab duduk di hadapan kami.
“Baiklah, cukup. Apa maumu?!” tanya ku mulai geram. Kami menutup buku setebal 5 cm itu dengan kompak.
“Cecil.., waktu kita masih 5 menit tenang saja..,” kata Caca mengarahkan jam tangannya padaku. “Kau tidak perlu marah begi-“ ucap Caca terpotong.
“Aucchh!!” teriak si lelaki itu sambil memegang keningnya seperti orang mau pingsan.
-BRUKK!!- Benar, dia langsung terbanting jatuh pingsan.
            Hening sebentar. Semua mata tertuju padaku, bahkan Caca Cindy seakan-akan mereka berpikir kalau aku baru saja menghisap jiwa si Ben yang baru pingsan itu.
            “Apa?” tanyaku bingung sambil mengernyitkan dahi.
            “Lo ngisep jiwanya?” tanya Cindy ke arahku dengan wajah polos dan suara cukup kencang. Tuh ‘kan.
Lalu seisi perpustakaan langsung ribut dan heboh. Beberapa orang menggotong Ben untuk dinaikkan ke kursi, yang lainnya megambil teh hangat dan P3K.
“Masa seribet itu sih orang pingsan doang, paling gugup ngobrol sama kita ‘kan?” kataku menekuk muka sambil membela diriku. Caca dan Cindy menatapku tajam seperti hakim yang menjadikanku seorang tersangka.
-TRRIIIIIIIIINGGGG!!!- Bel masuk berbunyi.
“Fyuh! Hampir aja..!” gumamku menghela nafas panjang. Lalu kami semua segera ke kelas, sementara si Ben itu langsung dikerumuni oleh para guru.
            Keesokkan harinya, kudengar si Ben itu masuk rumah sakit. Aku jadi merasa bersalah karena agak membentaknya kemarin. Aku terus berpikir apa aku yang menyebabkan ia masuk rumah sakit. Karena dari Lenny si tukang gosip telah menyebarluaskan tentang peristiwa kemarin. Sekarang, aku dikenal dengan julukan Penghisap Jiwa. Sungguh menyakitkan menjadi orang terhina.
“Cecilia!!! Lo tau ga? Si Ben kritis!” kata Caca meneriakiku sambil mengguncang-guncangkan pundakku.
“Hah? Serius? Jangan salahin gue sih!” kataku segera meninggalkan Caca menuju taman.
            Hari ini aku sangat takut Ben kenapa-napa. Karena menurutku, kalau sampai kritis begitu sepertinya ia memiliki penyakit serius. Akhirnya, aku memutuskan untuk menjenguknya sepulang sekolah bersama Caca dan Cindy. Bel pulang sekolah pun telah berbunyi. Aku, Caca dan Cindy langsung bergegas menuju rumah sakit tempat Ben dirawat. Aku berniat untuk memastikan kalau bukan aku yang menyebabkan dia sakit sampai kritis. Di rumah sakit, ku lihat 2 orang dewasa yang sepertinya ialah orang tua Ben.
            “Maaf, apa Ben dirawat disini?” tanyaku sopan. Mereka serentak mengangguk khawatir.
“Saya Cindy Bu, ini Caca dan ini Cecil. Kalau boleh tanya, Ben sakit apa?” tanya Cindy to the point.
“Ben punya penyakit kanker otak,” jawab ibunya. “Stadium 3,” sambung ayahnya.
“Tapi,.. Ben kok tidak botak?” tanya Caca ceplas-ceplos, memasksaku dan Cindy memelototi Caca, Caca langsung merapatkan mulutnya.
“Maksud dia, kok tidak ada ciri-cirinya?” tanya Cindy, kedua orang tuanya hanya menggelengkan kepala. Kami pun mengerti, orang tua Ben tidak ingin diwawancarai dulu.
            Seorang dokter keluar dari kamar rawat Ben, dan menghampiri kedua orang tuanya. Kami samar-samar mendengar kalau Ben sudah membaik dan sadar. Segera kami dan orang tua Ben masuk menemui Ben yang masih terbaring lemah. Kami masih berdiri di pintu masuk. Ibunya langsung menangis sambil berusaha tersenyum menggenggam tangan Ben. Kulihat Ben berbisik sesuatu pada kedua orang tuanya.
Lalu orang tuanya itu meninggalkan Ben dan menepuk bahuku pelan. Kami bertiga pun berdiri di sebelah ranjang Ben. Wajah Ben terlihat sangat pucat, dan entah kenapa aku menjadi sangat khawatir.
“Gue mau minta maaf..” kata ku to the point. Ben tersenyum tipis.
“Kalian baru pulang sekolah?” tanya Ben. Kami serentak mengangguk.
“Cecil yang ngajakin kita kesini, dia takut lo kenapa-napa,” ujar Cindy. Aku mengangguk tertegun, tepatnya menggeleng shock. Bisa-bisanya Cindy berkata begitu mempermalukan aku. Awas saja nanti. Aku menatap Cindy setajam silet bersiap mengeluarkan mata laserku. Lalu Cindy, Caca dan Ben terkekeh pelan. Mengingat ini rumah sakit, aku menahan amarahku. Setidaknya aku dapat melihat Ben yang kembali segar meskipun tangan kanannya diinfus. Keheningan menyelimuti kami beberapa detik, hanya suara detakan jantung Ben di monitor menjadi lagu dalam hening.
“Terima kasih telah datang teman-teman. Cecil.. Sebenarnya waktu itu aku hanya ingin jujur padamu kalau sebenarnya aku sangat menyukaimu Cecil,” kata Ben hampir membuat jantungku berhenti berdetak. Aku bisa merasakan wajah ku memanas dan sudah semerah udang rebus. Rasanya dari puluhan lelaki yang mengungkapkan perasaan mereka padaku, baru kali ini aku tidak bisa menolak permintaan manusia satu ini. “Kau tidak perlu membalas perasaan ku, aku sangat paham. Aku hanya tidak tenang bila belum mengungkapkan rasa itu, maaf bila aku mengganggumu...,” sambung Ben tersenyum sendu. Rasanya air mata telah memenuhi kantung mataku. Sungguh aku tidak tau kenapa aku jadi semacam terharu seperti ini. Tisu mana tisu?
“Hmm.. Ben, maaf aku masih ada urusan. Aku akan menjengukmu besok, sepulang sekolah,” kataku menyedot kembali air mataku masuk ke habitatnya seraya menyudahi momen canggung ini. Ben mengangguk. Lalu kami pamit pulang juga pada kedua orang tua Ben.
Keesokan harinya waktu istirahat, seperti biasa di 15 menit terakhir kami ke perpustakaan. Alangkah kagetnya kami ketika melihat seorang lelaki yang tertutup wajahnya oleh buku sedang duduk di tempat duduk langganan kami sambil membaca buku kami. Tentu saja aku marah. Enak saja orang itu duduk di tempat langgananku. Aku langsung berjalan sambil menghentakkan kakiku disusul oleh Caca dan Cindy. Baru saja ingin marah-marah, mulutku kaku dan tak bisa bicara sepatah kata pun, karena lelaki itu adalah Ben.
“L-lo nga-ngapain d-disini?” tanyaku gagap. Entah sihir macam apa yang membuat lidahku kaku, dan jantungku 100 kali lipat berdetak lebih cepat dan membuatku gugup.
“Gue lagi baca buku. Kan gue sembuh gara-gara lo jenguk kemarin,” jawab Ben dengan mata hazelnya dan senyum manis hadir bersama lesung pipit di kedua pipinya. Bayangkan saja dia itu artis Afghan, sangat mirip. Dan baru kusadari, ia tampan. Ups.
“Aku menunggu jawaban darimu..,” aku tau kemana arah pembicaraan ini.
“Gue,.. Mmm.. Ya deh,” kata ku seperti orang kikuk.
            Dia tersenyum bahagia. Sepulang sekolah kami pergi ke karnaval, menaiki biang lala, rumah hantu, dll. Aku sangat bahagia, aku belajar cinta.
Singkat cerita, pada esok harinya ia tidak masuk sekolah dengan alasan sakit. Kabarnya dia masuk rumah sakit dan kritis lagi. Tanpa pikir panjang, sepulang sekolah langsung secepat kilat aku menuju rumah sakit naik taksi. Kali ini tanpa Caca dan Cindy karena aku harus buru-buru berhubung dengan firasatku yang buruk. Sesampainya di rumah sakit, orang tua Ben menangis. Dari pintu ruangan dengan kaca hitam, aku lihat dokter sedang memasang defibrilator semacam alat pengejut jantung. Aku benar-benar khawatir dan tidak tenang. Berulang kali dokter itu memasang pengejut jantung sampai tubuh Ben terhentak ke atas, namun dapat ku lihat dari pintu kalau monitor detak jantung hanya menunjukkan garis panjang hijau.
Dokter pun akhirnya keluar dari ruangan tadi dengan wajah kusut. Dan benar apa firasatku karena Ben telah tiada. Hatiku remuk, seperti ratusan pisau menghujam tepat di jantungku. Cukup terakhir aku lihat wajahnya waktu kami bersenang-senang di karnaval. Merupakan 1 hari yang berarti bagiku. Aku tidak mau melihat wajah pucat Ben yang tak bernafas tertutupi kain putih. Aku mengatur nafasku. Lalu orang tua Ben memberiku sepucuk surat warna pink. Dan mereka pergi. Isinya..
Dear Cecilia,
Thanks for being my first and last love, for 1 day that you gave to me. Love you more Cecil!

Dead love,



Ben.